top of page

Sejarah Ramen di Jepang: Dari Tiongkok hingga Soul Food

  • Gambar penulis: Halal Ramen Japan
    Halal Ramen Japan
  • 4 Apr
  • 4 menit membaca

Diperbarui: 24 Apr

Bagaimana hidangan mie sederhana menjadi obsesi nasional

Seseorang membuat ramen dan ramen yang sudah jadi

Perkenalan


Ramen lebih dari sekadar semangkuk mi—ramen merupakan perwujudan perjalanan kuliner Jepang, adaptasi budaya, dan semangat makanan yang menenangkan. Meskipun saat ini ramen dianggap sebagai ikon Jepang, akarnya berasal dari seberang lautan di Tiongkok. Artikel ini menelusuri perjalanan menarik ramen, dari awal mulanya yang sederhana hingga menjadi salah satu hidangan Jepang yang paling disukai, yang kini dinikmati oleh jutaan orang di seluruh dunia, termasuk wisatawan Muslim yang mencari pilihan makanan halal.

Bab 1: Asal Usul dan Kedatangan Orang Cina di Jepang

Cina, Jepang dan Ramen

Kisah ramen bermula di Tiongkok, dengan mi yang ditarik dengan tangan yang disebut "la mian." Mi berbahan dasar gandum ini dibawa ke Jepang pada akhir abad ke-19 oleh imigran Tiongkok, khususnya di kota-kota pelabuhan seperti Yokohama, Kobe, dan Nagasaki. Versi awal dikenal sebagai "Shina soba" (soba Tiongkok), yang memiliki kuah bening dan topping sederhana seperti daun bawang dan daging babi panggang.

Awalnya disajikan di restoran milik orang Cina, hidangan mi ini lambat laun masuk ke dalam menu restoran Jepang. Kelas pekerja menyukai makanan yang terjangkau dan mengenyangkan ini, terutama pekerja dermaga dan buruh di pusat kota. Hidangan ini dihargai karena kesederhanaannya, kecepatan persiapannya, dan sifatnya yang memuaskan—cocok untuk populasi yang sedang membangun kembali dan terus berpindah-pindah.



Bab 2: Jepang Pascaperang dan Inovasi Regional

Seseorang membuat ramen dan kios ramen

Evolusi ramen yang sesungguhnya dimulai setelah Perang Dunia II, pada masa kelangkaan pangan dan pembangunan kembali. Impor gandum Amerika membuat mi mudah didapat, dan pasar gelap menjadi pusat kedai ramen. Periode ini memunculkan eksperimen, cita rasa daerah, dan akhirnya fenomena "ramen lokal".


Contohnya meliputi:

  • Gaya Tokyo: kaldu berbahan dasar kecap asin dengan mie tipis sedang

  • Gaya Sapporo: kaldu berbahan dasar miso, biasanya dengan jagung, mentega, dan tauge

  • Gaya Hakata: kaldu tonkotsu (tulang babi) yang kental dengan mie tipis

  • Gaya Kitakata: kaldu berbahan dasar kedelai ringan dengan mie pipih dan keriting


Variasi regional ini mencerminkan bahan-bahan lokal, iklim, dan preferensi budaya, menjadikan ramen sebagai obsesi nasional. Kebanggaan lokal melekat kuat pada berbagai jenis ramen, dan toko-toko regional mulai menarik minat wisatawan kuliner, dengan orang-orang bepergian hanya untuk merasakan cita rasa daerah tertentu.



Bab 3: Ramen Instan dan Ledakan Global

Cup Ramen, Ramen Instan dan Museum Cup Ramen

Pada tahun 1958, Momofuku Ando merevolusi cara dunia mengonsumsi mi dengan menciptakan ramen instan. Perusahaannya, Nissin, kemudian merilis Cup Noodles pada tahun 1971, yang membuat ramen mudah dibawa, terjangkau, dan dapat diakses secara universal.

Ramen instan menjadi makanan pokok tidak hanya di Jepang, tetapi juga di asrama perguruan tinggi dan dapur di seluruh dunia. Mie instan juga menjadi simbol inovasi dan kebangkitan ekonomi Jepang pascaperang. Daya simpannya yang lama, kemudahan persiapannya, dan harganya yang murah membuatnya sangat populer di kalangan mahasiswa, pelancong, dan penyedia makanan darurat.

Kini, Jepang memiliki museum yang didedikasikan untuk mi instan, seperti Museum Mi Cup di Yokohama, yang menarik minat wisatawan dari seluruh dunia. Pengunjung bahkan dapat membuat Mi Cup sesuai keinginan mereka sendiri, memadukan sejarah dengan keterlibatan budaya secara langsung.



Bab 4: Ramen sebagai Bentuk Seni Kuliner

Truffle, foie gras, dan lobster digunakan dalam ramen lezat

Pada tahun 1980-an dan 1990-an, ramen telah berubah dari makanan jalanan menjadi makanan lezat. Para koki mulai mengembangkan kaldu rahasia, mi buatan tangan, dan topping khas mereka sendiri. Kedai ramen berubah menjadi destinasi kuliner, dan hidangan ini memiliki aura kerajinan tangan.

Acara TV, dokumenter, dan bahkan film seperti "Tampopo" (1985) mengeksplorasi budaya ramen. Kritikus makanan mulai memberi peringkat pada toko-toko, dan penggemar mengantre selama berjam-jam untuk mencicipi semangkuk ramen yang terkenal.


Ramen modern sekarang meliputi:

  • Kaldu yang mengandung minyak truffle atau foie gras

  • Versi vegan dan bebas gluten

  • Topping kreatif seperti bebek asap, lobster, atau yuzu


Beberapa koki telah berlatih di luar negeri dan kembali ke Jepang dengan inspirasi internasional, yang selanjutnya mengangkat mutu masakan. Kompetisi ramen internasional dan tur wisata bertema ramen telah menambah prestise dan nilai budaya hidangan tersebut.



Bab 5: Ramen Halal dan Inklusivitas Budaya

Daging halal, bumbu halal, dan tempat sholat

Seiring dengan semakin populernya Jepang bagi wisatawan Muslim, industri makanan pun meresponsnya dengan menyediakan hidangan yang inklusif. Ramen halal kini tersedia di kota-kota besar seperti Tokyo, Kyoto, dan Osaka.


Adaptasi umum meliputi:

  • Kaldu berbahan dasar ayam atau makanan laut sebagai pengganti daging babi

  • Daging dan bumbu bersertifikat halal

  • Saus dan miso tanpa alkohol

  • Ruang sholat dan menu berbahasa Inggris di beberapa restoran


Beberapa kedai ramen bahkan menyediakan papan informasi halal yang jelas, staf multibahasa, dan menu kode QR demi kenyamanan. Maraknya media sosial dan platform khusus halal telah memberdayakan pengunjung Muslim untuk menemukan dan berbagi pengalaman bersantap tepercaya.

Situs web seperti HalalRamenJapan.com membantu wisatawan menemukan pilihan yang ramah Muslim, mendukung pariwisata dan pertukaran budaya. Pertumbuhan ramen halal juga mencerminkan upaya Jepang yang lebih luas terhadap keramahtamahan dan jangkauan global dalam persiapan untuk acara seperti Olimpiade Tokyo dan Expo 2025 di Osaka.



Kesimpulan


Perjalanan Ramen dari makanan jalanan Cina menjadi makanan khas Jepang adalah bukti bagaimana kuliner berevolusi lintas batas dan lintas generasi. Ramen telah beradaptasi dengan perubahan ekonomi, tradisi regional, tren global, dan kini, inklusivitas budaya.

Saat ini, baik disajikan di restoran berbintang Michelin maupun di warung pinggir jalan, ramen tetap menjadi semangkuk hangat yang memuaskan yang penuh dengan sejarah, cita rasa, dan komunitas. Dan bagi banyak orang—termasuk pengunjung yang sadar akan halal—ramen melambangkan kemungkinan nikmat untuk terhubung melalui makanan.

Dari awal yang sederhana hingga menjadi fenomena global, ramen terus berkembang di persimpangan tradisi dan inovasi.




Comments


bottom of page